(Terjemahan bebas
dari rubrik asuhan Editor in Chief Majalah ‘Cyber Therapy & Rehabilitation’
Edisi III, 2010)
Pembaca budiman,
Sebuah laporan
ankedotal mengatakan bahwa para pilot pengebom jarak jauh pada ‘Operation
Enduring Freedom’ yang menggunakan Wahana Udara Tanpa Awak (UAV) lebih beresiko
mengalami Gangguan Stres Postraumatik (PTSD) daripada pilot yang terjun
langsung ke pertempuran.
Reporter AFP Scott
Lindlaw mengajukan beberapa alasan penyebabnya.
1. Pilot UAV bekerja
dengan shift dan tour yang lebih lama daripada pilot medan tempur
2.Tidak seperti
penerbangan berawak, pilot UAV masih dalam keadaan terjaga dan menyaksikan
sendiri kerusakan akibat bom. Hasil kegiatan pembantaian dalam detail resolusi
tinggi terpampang di hadapannya.
3. Waktu pengurangan
tekanan (dekompresi) yang sangat singkat antara saat si pilot mengebom dan saat
ia tiba kembali ke rumah berkumpul bersama pasangan serta keluarga,
menghasilkan transisi yang mengguncang antara realitas virtual dan realitas
fisikal.
Baik helikopter yang
dikirim ke Vietnam mupun UAV yang ke Afganistan adalah esensi dari perang dan
simbol superioritas teknologi. Jumlah UAV/drones telah bertumbuh dari 200
delapan tahun lalu menjadi lebih dari 7.000 saat ini. Setiap Predator dan
Reaper mempunyai dua kru: pilot tempur yang menerbangkan drone, dan operator
sensor yang menjalankan kamera serta mengarahkan laser. Pilot drone dapat
menyelesaikan latihan hanya dalam hitungan bulan, tidak seperti waktu bertahun-tahun
untuk pilot tempur F-15.
Kemampuan bermain
videogame dapat menjadi keahlian yang paling berharga bagi angkatan bersenjata
yang kini makin bergantung pada robot. Di tengah situasi medan tempur, serdadu
maupun pilot mampu menyesuaikan diri terhadap kekerasan dan membuat mereka
terinokulasi dari efek stress. Berlawanan dengan itu, pilot UAV merasakan
‘tidak nyata’nya bekerja bersama partner yang belum mereka kenal melawan musuh
yang nyata (bagi mereka) pada layar video. Boleh jadi, tiadanya ikatan
emosional ini adalah alasan lain terjadinya kasus PTSD: di bawah sadar, mereka
mengalami sukarnya menjustifikasi pembunuhan ketika hidup mereka sendiri tidak
sedang dalam bahaya.
Tetapi jika anda ada
dalam posisi ‘kaki di medan laga” dan sebuah robot menyelamatkan nyawa anda,
apa yang terjadi dengan sisi emosional anda?
Seorang serdadu
Penjinak Bom (EOD) bergegas membawa sebuah kotak ke Fasilitas Perbaikan Robot
di Kamp Viktoria, Irak.
“Kamu bisa
memperbaikinya?” ujarnya dengan air mata berlinang.
Di dalam kotak terdapat potongan-potongan logam penyok, yang adalah sisa-sisa
dari ‘Scooby–Doo’, sebuah PackBot tim yang baru saja meledak terkena Alat
Berpeledak Sendiri (IED). Di bagian kepala Scooby terlihat daftar yang dibuat
dengan tulisan tangan yang menunjukkan jumlah misi yang telah dilakukan oleh
robot itu. Seperti yang terungkap, si Scooby telah ‘memburu’ dan menonaktifkan
18 IED dan satu bom mobil dalam misi berbahaya yang telah menyelamatkan banyak
nyawa.
“Ia robot yang sangat
baik” kata serdadu itu sesenggukan kepada sersan Ted Bogosh, Marinir yang
bertugas di fasilitas perbaikan.
Ini adalah tambahan
bagi UAV. Selain Predator 48 kaki maupun hand-thrown Raven, ada juga lebih dari
12.000 Wahana Darat Tanpa Awak seukuran mesin pemotong rumput macam PackBot
tadi yang disebar ke Timur Tengah dan Asia Selatan. Serdadu-serdadu
memproyeksikan emosi mereka ke mesin-mesin ini dengan konsekwensi yang tak
terbayangkan. Sejak menjadikan robot sebagai bagian dari tim, para serdadu
misalnya dapat mempromosikan robot untuk menempati first class dan memberinya
lencana Penjinak Bom/EOD. Antroproformisasi ini dapat pula membuat serdadu rela
bertaruh nyawa di bawah tembakan musuh untuk menyelamatkan robotnya, hal mana
secara eksak berlawanan dengan tujuan dibuatnya robot. Boleh jadi, itu terjadi
karena serdadu menyadari bahwa mereka mungkin tidak akan hidup tanpa jasa-jasa
mesin tersebut, sehingga tidak mampu menyaksikan benda itu dalam keadaan
terancam. Ada alasan psikologis untuk hal ini: ketika melihat robot, neuron pencerminan
menjadi aktif, dan terindikasi bahwa manusia menganggap robot sebagai makhluk
hidup yang pantas untuk mendapat empati.
Ke depannya memang
lebih disukai untuk menciptakan sebuah PackBot yang tidak terlalu mirip manusia
sehingga serdadu tidak merasa terganggu ketika robot itu hancur
berkeping-keping. Dan boleh jadi, sebuah ‘drone with a conscience’ dapat
kenggantikan dua tim UAV- meski bidang roboetika yang mulai dikembangkan pada
2003 akan tumbuh lebih cepat ke arah isu yang makin kompleks.
Sebuah isu
partikular, di luar kesadaran etik yang telah ada dan mesti mendapat perhatian
di masa depan, adalah adanya fiksi sains popular yang menggagas bahwa robot
dapat mengembangkan diri mereka, mulai berpikir untuk diri mereka sendiri, dan
mengakhiri saling menyerang antara sesama robot. Sebuah contoh telah dilaporkan
meskipun dalam skala kecil. Pada 2007, sebuah robot telah membunuh sembilan
orang dan melukai empat belas lainnya. Ini adalah laporan dari tim investigasi
Pertahanan Nasional Afrika Selatan. Kesalahan dituding terletak pada ‘masalah
mekanik’, yaitu desain atau modifikasi yang buruk.
Sejak itu, Departemen Pertahanan mempunyai kesempatan untuk mengadakan studi
longitudinal terhadap pilot drone dan team robot-manusia untuk menemukan serta
lebih menyingkap penyebab PTSD- dan membantu mereka yang selamat dari kondisi
cacat ini. Dan ini lebih memungkinkan Terapi Berbantu Realitas Virtual untuk
menjadi treatmen pilihan dalam group video game berbasis perang, kini dan di
masa depan.
Ciptakan realitas
anda!
Professor Dr. Brenda K. Wiederhold
Tidak ada komentar:
Posting Komentar