Sabtu, 14 Maret 2015

Manusia vs Mesin


(Terjemahan bebas dari rubrik asuhan Editor in Chief Majalah ‘Cyber Therapy & Rehabilitation’ Edisi III, 2010)
Pembaca budiman,
Sebuah laporan ankedotal mengatakan bahwa para pilot pengebom jarak jauh pada ‘Operation Enduring Freedom’ yang menggunakan Wahana Udara Tanpa Awak (UAV) lebih beresiko mengalami Gangguan Stres Postraumatik (PTSD) daripada pilot yang terjun langsung ke pertempuran.
Reporter AFP Scott Lindlaw mengajukan beberapa alasan penyebabnya.
1. Pilot UAV bekerja dengan shift dan tour yang lebih lama daripada pilot medan tempur
2.Tidak seperti penerbangan berawak, pilot UAV masih dalam keadaan terjaga dan menyaksikan sendiri kerusakan akibat bom. Hasil kegiatan pembantaian dalam detail resolusi tinggi terpampang di hadapannya.
3. Waktu pengurangan tekanan (dekompresi) yang sangat singkat antara saat si pilot mengebom dan saat ia tiba kembali ke rumah berkumpul bersama pasangan serta keluarga, menghasilkan transisi yang mengguncang antara realitas virtual dan realitas fisikal.
Baik helikopter yang dikirim ke Vietnam mupun UAV yang ke Afganistan adalah esensi dari perang dan simbol superioritas teknologi. Jumlah UAV/drones telah bertumbuh dari 200 delapan tahun lalu menjadi lebih dari 7.000 saat ini. Setiap Predator dan Reaper mempunyai dua kru: pilot tempur yang menerbangkan drone, dan operator sensor yang menjalankan kamera serta mengarahkan laser. Pilot drone dapat menyelesaikan latihan hanya dalam hitungan bulan, tidak seperti waktu bertahun-tahun untuk pilot tempur F-15.
Kemampuan bermain videogame dapat menjadi keahlian yang paling berharga bagi angkatan bersenjata yang kini makin bergantung pada robot. Di tengah situasi medan tempur, serdadu maupun pilot mampu menyesuaikan diri terhadap kekerasan dan membuat mereka terinokulasi dari efek stress. Berlawanan dengan itu, pilot UAV merasakan ‘tidak nyata’nya bekerja bersama partner yang belum mereka kenal melawan musuh yang nyata (bagi mereka) pada layar video. Boleh jadi, tiadanya ikatan emosional ini adalah alasan lain terjadinya kasus PTSD: di bawah sadar, mereka mengalami sukarnya menjustifikasi pembunuhan ketika hidup mereka sendiri tidak sedang dalam bahaya.
Tetapi jika anda ada dalam posisi ‘kaki di medan laga” dan sebuah robot menyelamatkan nyawa anda, apa yang terjadi dengan sisi emosional anda?
Seorang serdadu Penjinak Bom (EOD) bergegas membawa sebuah kotak ke Fasilitas Perbaikan Robot di Kamp Viktoria, Irak.
“Kamu bisa memperbaikinya?” ujarnya dengan air mata berlinang.
Di dalam kotak terdapat potongan-potongan logam penyok, yang adalah sisa-sisa dari ‘Scooby–Doo’, sebuah PackBot tim yang baru saja meledak terkena Alat Berpeledak Sendiri (IED). Di bagian kepala Scooby terlihat daftar yang dibuat dengan tulisan tangan yang menunjukkan jumlah misi yang telah dilakukan oleh robot itu. Seperti yang terungkap, si Scooby telah ‘memburu’ dan menonaktifkan 18 IED dan satu bom mobil dalam misi berbahaya yang telah menyelamatkan banyak nyawa.
“Ia robot yang sangat baik” kata serdadu itu sesenggukan kepada sersan Ted Bogosh, Marinir yang bertugas di fasilitas perbaikan.
Ini adalah tambahan bagi UAV. Selain Predator 48 kaki maupun hand-thrown Raven, ada juga lebih dari 12.000 Wahana Darat Tanpa Awak seukuran mesin pemotong rumput macam PackBot tadi yang disebar ke Timur Tengah dan Asia Selatan. Serdadu-serdadu memproyeksikan emosi mereka ke mesin-mesin ini dengan konsekwensi yang tak terbayangkan. Sejak menjadikan robot sebagai bagian dari tim, para serdadu misalnya dapat mempromosikan robot untuk menempati first class dan memberinya lencana Penjinak Bom/EOD. Antroproformisasi ini dapat pula membuat serdadu rela bertaruh nyawa di bawah tembakan musuh untuk menyelamatkan robotnya, hal mana secara eksak berlawanan dengan tujuan dibuatnya robot. Boleh jadi, itu terjadi karena serdadu menyadari bahwa mereka mungkin tidak akan hidup tanpa jasa-jasa mesin tersebut, sehingga tidak mampu menyaksikan benda itu dalam keadaan terancam. Ada alasan psikologis untuk hal ini: ketika melihat robot, neuron pencerminan menjadi aktif, dan terindikasi bahwa manusia menganggap robot sebagai makhluk hidup yang pantas untuk mendapat empati.
Ke depannya memang lebih disukai untuk menciptakan sebuah PackBot yang tidak terlalu mirip manusia sehingga serdadu tidak merasa terganggu ketika robot itu hancur berkeping-keping. Dan boleh jadi, sebuah ‘drone with a conscience’ dapat kenggantikan dua tim UAV- meski bidang roboetika yang mulai dikembangkan pada 2003 akan tumbuh lebih cepat ke arah isu yang makin kompleks.
Sebuah isu partikular, di luar kesadaran etik yang telah ada dan mesti mendapat perhatian di masa depan, adalah adanya fiksi sains popular yang menggagas bahwa robot dapat mengembangkan diri mereka, mulai berpikir untuk diri mereka sendiri, dan mengakhiri saling menyerang antara sesama robot. Sebuah contoh telah dilaporkan meskipun dalam skala kecil. Pada 2007, sebuah robot telah membunuh sembilan orang dan melukai empat belas lainnya. Ini adalah laporan dari tim investigasi Pertahanan Nasional Afrika Selatan. Kesalahan dituding terletak pada ‘masalah mekanik’, yaitu desain atau modifikasi yang buruk.
Sejak itu, Departemen Pertahanan mempunyai kesempatan untuk mengadakan studi longitudinal terhadap pilot drone dan team robot-manusia untuk menemukan serta lebih menyingkap penyebab PTSD- dan membantu mereka yang selamat dari kondisi cacat ini. Dan ini lebih memungkinkan Terapi Berbantu Realitas Virtual untuk menjadi treatmen pilihan dalam group video game berbasis perang, kini dan di masa depan.
Ciptakan realitas anda!
Professor Dr. Brenda K. Wiederhold

Tidak ada komentar:

Posting Komentar